Asy-Syaikh rahimahullah bernama lengkap Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam bin Abdullah bin al-Khadhir bin Muhammad. Beliau dilahirkan dikota Harran pada hari senin tepatnya 10 Rabi’ul Awwal 661 H, sekitar lebih kurang 8 abad silam. Adalah beliau, salah satu dari sedikitnya manusia yang Allah beri nikmat berupa tumbuh di keluarga ulama dan cendikia yang sehari-harinya bergulat dengan ilmu. Kondisi itu pulalah yang mula-mula membentuk jiwa serta menumbuhkan semangat ilmu beliau, yang kemudian sampai hari ini tidak samar dalam diktat-diktat tarikh perihal keperkasaan beliau rahimahullah.
Ibnu Taimiyah kecil tumbuh bersama dengan konfrontasi-konfrontasi Mongol yang kala itu kian rumit. Bagaimana tidak, Mongol saat itu sudah meluluh lantakkan kekuasaan umat Islam di belahan dunia timur, saat Ibnu Taimiyah masih dalam usia yang amat emosional kala itu. Beliau menjalani hidup bersama dengan kekejaman Mongol yang tentu saja membekas dijiwa, satu hal yang mendasari beliau besok lusa menjadi tokoh vital pemersatu umat untuk menggulingkan Mongol pada kalanya.
Meski lahir di Harran, Ibnu Taimiyah tumbuh di Damaskus, sebuah tempat yang menerima Ibnu Taimiyah dan keluarga, sebuah negeri tempat bernaungnya ilmu (kala itu), serta tempat dimana ruh-ruh kecerdasan berkumpul. Yang demikian itu ialah sebuah takdir yang elok untuk Ibnu Taimiyah kecil setelah sebelumnya beliau dan keluarga terusir oleh imperialisme Mongol.
Ibnu Taimiyah merupakan pribadi yang ajaib, satu dari sedikitnya manusia yang Allah anugrahi akal yang cemerlang serta mata batin yang terang. Telah cukup jamak prestasi beliau yang menjadi potret akan kualitas keilmuan beliau sebagai seorang ulama. Semisal dalam usia yang amat belia (19 tahun) beliau sudah dipercayakan menjadi guru besar hadits di Damaskus menggantikan ayahnya yang baru saja meninggal dunia.
Ibnu Taimiyah adalah insan yang terilhami ilmu dari setiap sudut cabangnya. Oleh karena itu, tidak kita dapati lembar-lembar sejarah mewartakan beliau ahli dalam bidang ilmu tertentu saja. Kendali demikian, Ibnu Taimiyah paham betul penyakit umat kala itu, bahwa kemurnian akidah umat kian terancam ditengah derasnya kerancuan filsafat yang menyamar dan menyambar akidah Islam lewat teologi mu`tazilah, mistifikasi-mistifikasi yang mengaburkan akal sehat, serta tokoh-tokoh kebid`ahan dan kesyirikan yang menjamur. Maka dari itu beliau berikhtiar dengan sungguh, berkonsentrasi secara fokus untuk melestarikan dan memagari kembali kemurnian aqidah umat.
Ibnu Taimiyah adalah satu diantara tidak banyak tokoh yang diberikan kebencian berlebih terhadap segala varian modifikasi syariat (bid’ah) terutama dalam akidah. Dan adalah Ahmadiyyah, kisrawaniyyah, rafidhah, mu`tazilah, filsafat pantheisme, sampai tokoh-tokoh mistik dan yang semisal dengan mereka, secara tegas mendapat kritik-kritik dan pembungkaman dari Ibnu Taimiyah serta interupsi-interupsi yang tajam. Bagi ibnu Taimiyah, keseluruhan varian modifiaksi syariat adalah asbab yang cukup logis dari degredasi umat islam, suatu hal yang patut untuk disegerakan pernyelesaiannya.
Meski ibnu Taimiyah diilhami kecemerlangan akal dan kemampuan nalar diatas rata-rata, dalam karya tulis beliau yang jamak tidak kita dapati bahwa beliau menempakkan akal pada hierarki puncak sebagai intrumen beragama dan memahami hakikat ilmu dalam islam.
Dalam memahami dalil dan berpendapat, ibnu taimiyah tidak sekalipun meninterpretasikan sendiri setiap dalil. Beliau senantiasa merujuk pada pamahaman para salafush saleh (sahabat, tabiin dan atba’ut tabiin) yang itu merupakan suatu formula konkrit yang digaransi langsung oleh Allah melalui lisan Rasulnya untuk memahami agama ini dengan shahih. Metode beragama ini pula yang dianut para imam terdahulu, semisal Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi`i, Imam Ahmad, Imam al-Laits, Imam Ats-Tsaury serta orang-orang yang bersama mereka.
Prinsip beragama inilah yang kemudian kita kenal dengan istilah “manhaj salaf”, sebuah manhaj dan metode rabbani yang sepatutnya kita lestarikan kembali secara kolektif di kekinian. Prinsip yang direkomendasikan langsung oleh Rasulullah dalam sabdanya yang tidak asing: “Sebaik-baik generasi umatku adalah pada masaku (sahabat), kemudian orang-orang yang setelah mereka (Tabi’in), lalu orang-orang yang setelah mereka (atba’ut Tabi’in).” (Shahih Al-Bukhari, no. 3650).
Jika kita melembari kitab-kitab sejarah, tentu akan kita dapati bahwa tidak berlebihan menyebut Ibnu Taimiyah sebagai seorang jendral yang agung. Sebab selain melampaui sekat-sekat intelektual dalam Islam, beliau juga mewarisi semangat juang (jihad) para pendahulu yang shalih.
Ibnu Taimiyah memiliki peran vital dalam pengusiran bangsa Mongol di timur tengah yang dikenal dengan perang Shaqhad. Dengan inteligensinya yang tajam beliau mampu melihat bahwa kemewahan hidup telah merusak bangsa Mongol dari dalam, bahwa kala itu bangsa Mongol sedang rapuh dan goyah. Oleh karena itu, tergerak hati Ibnu Taimiyah untuk mendidik jiwa umat untuk berjihad yang kala itu diliputi ketakutan akan keperkasaan bangsa Mongol.
Ibnu Taimiyah adalah sosok yang paripurna (dimasanya), dimana keperkasaan dan keberanian bertaut sedemikian rupa dengan ilmu dan pikiran yang cemerlang dalam dirinya. Beliau adalah salah satu dari sedikitnya manusia yang mewarisi ruh-ruh keberislaman salaf, dimana beliau sama sekali tidak membuat jurang pemisah antara ilmu dan amal. Ibnu taimiyah ialah muslim yang insaf, yang hasrat dunianya teramat rendah, dibanding dengan orientasi penghambaan diri kepada Allah yang teramat timggi menjulang ke langit.
Pasca generasi terbaik, adalah suatu kelangkaan mendapati manusia-manusia yang berkumpul pada dirinya kualitas-kualitas kelislaman yang jamak serta berjiwa jendral. Meski bukan satu-satunya, ibnu taimiyah ialah salah satu dari sedikitnya yang mampu mepresentasikan secara sungguh semangat keberislaman Salaf. Maka tidak berlebihan, jika dikekinian insan serupa adalah suatu kelangkaan tingkat puncak.
Setelah berkelindan lama di dunia dakwah, Ibnu Taimiyah akhirnya beristirahat dari getirnya dunia yang beliau rasakan. Tepat pada malam 20 Dzulqa’dah 728 H menjelang fajar kala itu beliau rahimahullah wafat, suatu peristiwa yang menggondang dunia dengan sungguh kala itu. Dan adalah rahmat Allah bagi beliau, wafat dalam keadaan meninggalkan mutiara-mutiara mewah serta kekayaan ilmiah yang jamak jumlahnya.
Ibnu taimiyah adalah sosok yang berkumpul padanya ilmu, amal, zuhud, wara’, keberanian dan segala prilaku terpuji lainnya. Tak terhitung banyaknya pujian ulama bagi beliau rahimahullah yang menyanjung serta mengagungkan, suatu hal yang jarang kita dapati dikekinian. Diantara ulama yang memuji beliau adalah al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi, beliau berkata:
“Demi allah aku tidak pernah melihat orang yang paling luas ilmunya, dan paling kuat kecerdasannya dari pada orang yang biasa dipanggil Ibnu Taimiyah, disamping kezuhudannya dalam makanan, pakaian dan wanita, serta membela kebenaran dan jihad dengan segala kemampuan”.
Akhirul kalam, bagi saya, Ibnu Taimiyah adalah tokoh yang sanantiasa mewarnai umat dengan karya-karya beliau yang kekal sampai saat ini. Interupsi beliau terhadap firqah-firqah menyimpang merupakan suatu yang senantiasa dibutuhkan umat, sebagai refleksi yang menyadarkan kita betapa lemahnya syubhat-syubhat kelompok tersebut serta jelasnya urusan agama ini.
Sumber: www.muslimclever.com
diposting oleh:
Mahasiswa KPM-DRI UIN Ar-Raniry, Gampong Jeulingke – IAT 02, FUF sebagai proker harian dalam kegiatan edukasi berbasis online. Melalui website gampong, Instagram dan Facebook.